Senin, Oktober 03, 2011
0
Bukankah pernah aku katakan pada matahari, ketika aku dalam isak tangis air mata darah siang itu.
Ketika kamu terpeleset menjauh dari dahaganya jiwaku ini.
Sebuah perjalanan penuh kerikil tajam tak jarang mesti mendaki.
Entah karena aku terlalu hina untuk dipandang kedua mata atau terlalu naif untuk berkata cinta.
Tapi ketahuilah, angkasa raya melirik setiap gelagat polah tingkah anak manusia.
Mungkin engkau tak melewati genangan darah di mata ini.
Aku berkata kepadamu ketika malam bergelayut di ujung cakrawala sebelah sana.
Sebait demi sebait ucapan terlontar walau terdesak angin...Sedikit demi sedikit luntur.



Sekali lagi aku berkata kepadamu tetapi embun yang menjawab.
Sepatah demi sepatah kata menjadi alunan.

Aku tahu satu hari nanti kakimu menjejak di sekitar noda hati yang rapuh ini.
Jangan sekali-kali engkau berujar itu hakiki bila tak senada dengan hati.
Bila senja di hadapan engkau menunggu pagi,
Mendongaklah ke atas akan tampak kilau gemintang, itu pertanda aku hadir.
Bila engkau melewati gubuk hati di tubuh ini, singgah dan berteduhlah engkau sembari menikmati hangatnya darah yang tersaji murni.
Teguk demi seteguk akan terasa nikmatnya darahku bersetubuh dengan darahmu lalu beranaklah satu hati.
Itu hatimu dan hatiku.
Itu menjadi masa depan.
Itu menjadi titik jemu masa lalu.

Dengar...
Sekali lagi aku berujar.
Tentang kamu..
Tentang aku..
Tentang kita.

0 komentar:

Posting Komentar

Leave your comments and get backlink from Cara Pujangga.
No spam, please.